31 Desember. Berantakan.

Senin, 31 Desember 2012


Senin terakhir di tahun ini. Aku baru saja selesai menunaikan dhuha-ku saat teringat, aku lupa membeli baking soda. Kata Mamah, kue akan terasa jauh lebih lembut jika kita menambahkan sedikit bubuk baking soda di dalam adonannya. Semoga masih sempat dan masih ada waktu untuk menyelesaikannya…

6 jam menuju jam 5 sore. Waktu yang aku janjikan kepadanya untuk bertemu. Dan aku belum bersiap sama sekali. Demi Tuhan, kejutan macam apa yang akan kuberikan padanya… Untuk pertama kalinya, aku seperti hilang akal. 

Aku bahkan belum sempat memejam sejak sujud terakhir di tahajud semalam. Tapi lelahku terbayar sudah. Sebuah film sederhana siap kuberikan padanya. Sederhana. Sesederhana potongan-potongan percakapan kami di kotak pesan atau messenger. Sesederhana mimpi-mimpi kami yang saling bersinggungan dan melebur bersama, menghilangkan kata aku atau kamu dan bertransformasi menjadi kami. Menjadi kita, nantinya. 

Sederhana. Tapi bagiku itu luar biasa. Luar biasa karena untuk menyentuhnya pun, tak pernah bisa terlintas di anganku, setahun yang lalu. Untuk bisa melihat senyumnya pun, aku tak pernah berharap. Terlebih menjadi alasan di baliknya. Tapi kini, kami saling mendoakan. Saling menyebut nama masing-masing di dalam do'a yang kami panjatkan.

Aku tak sabar mendengarnya tersenyum sesaat setelah melihat film ini. Mungkin itu yang membuatku tak bisa tidur. Terjaga sedari pagi. 
Dan kak Tata, sudah tak sabar menyuruhku memulai. Ya, salahku yang memohon-mohon kepadanya untuk mengajariku membuat kue. Mengajari, bukan membantu, karena aku tak ingin, ada campur tangan orang lain dalam pembuatan kue ini.

==

Resep sederhana pembuatan black forrest sudah kucetak jelas di atas kertas. Segala bahan sudah kubeli dan kupersiapkan jauh-jauh hari. Alat-alatnya pun sudah Kak Tata dan Mamah bantu keluarkan dari lemari dapur. Jauh dari gambaran koki profesional, aku lebih seperti pramusaji warung nasi langganan dengan celemek usang milik Mamah ini.
"Siapkan wadah yang besar, Ren. Nanti tepung terigu, coklat bubuk dan tepung maizenanya dicampur dulu jadi satu sebelum ditambah dengan telur.", jelas Kak Tata.

Well, it's show time.

Campur tepung terigu, coklat bubuk dan tepung maizena, kemudian aduk hingga rata.
Pertama kali memegang mixer, dinding-dinding dapur Mamah belepotan, aku buat. Ada sebagian tepung dan serbuk coklat yang menempel disana. Di baju, di meja, dan dimana-mana. Tanganku bergetar mengikuti getaran mixer di level tertingginya.  
Sama seperti saat aku pertama kali menyentuh jemarinya. Gemetar luar biasa dari ujung kaki hingga kepala. Berdebar tak keruan. Mencelos dan serasa jatuh menyentuh tanah, sebelum akhirnya aku sadar, aku masih ada di hadapannya.
Jemari yang lembut. Yang tak pernah kuizinkan untuk mengerjakan pekerjaan yang berat.  Jemari yang mulus, yang hanya dengan belaiannya, sirna semua letih dan lelahku nanti. Jemari yang pernah kumimpikan untuk kugenggam setiap malam.
Setelah itu kocok telur, gula dan emulsifier hingga mengembang dan kental sekitar 10 – 15 menit.
Aku menakar berat gula yang akan dicampurkan ke dalam adonan telur dan peng-emulsi. 200 gram, tidak lebih, tidak kurang. Karena jika lebih, akan bantet jadinya. Dan jika kurang, akan kurang pas rasa manisnya. 

Tidak lebih dan tidak kurang. Sama seperti perhatiannya. Ada kalanya ia begitu manja berkata-kata di BBM, yang bisa membuatku besar kepala dan kangen sangat kepadanya secara bersamaan. Tapi tak jarang, diamnya membuatku penasaran. Wanita memang penuh dengan rahasia. Yang demi membukanya, aku rela menjadi Detektif Conan.
Masukkan campuran tepung sambil diayak, baking soda, aduk hingga adonan tercampur rata. 
Aku mulai berkeringat. Tak kusangka seribet ini kah urusan membuat kue yang biasanya kulahap habis dalam sekejap? Harus sambil diayak? Harus perlahan kah? Oh, mungkin sama perlahannya seperti ketika aku mengenalnya. Dan mencoba mengenalkannya dengan duniaku. Perlahan. Pelan-pelan. Hingga aku merasa nyaman dan ia merasa aman bersama dengan orang lain sepertiku. 
Masukkan mentega yang telah dilelehkan terlebih dahulu, kemudian aduk lagi hingga rata.
Ouch! Panas! Mangkok stainless steel yang kugunakan untuk melelehkan mentega di dalam rebusan air kulepaskan begitu saja diatas meja. Ada sebagian kecil yang tumpah. Ah masa bodo, jempolku memerah karenanya.  
Aku pernah merasakan panas yang sama. Tapi bukan di jemari, tapi di hati. Saat melihat dia berbincang dengan laki-laki lain. Aku tau, mereka bukan siapa-siapanya. Tapi hanya saja, aku tak sudi melihat dia tertawa karena lelaki lain. Posesif? Mungkin… Tapi positifnya, aku akan selalu berusaha untuk membuatnya bahagia. Tersenyum dan tertawa karena ada aku dibaliknya.
Setelah itu tuang adonan ke dalam 3 buah loyang berukuran 22x22x4 cm
Mamah hanya punya 2 loyang yang berukuran seperti itu. Aku pikir, cukuplah. Yang penting kan kualitas. Bukan kuantitas. Biar saja kubuat masing-masing lebih tebal dari yang resep ajarkan.  Win-win solution kan? Hehehehe…. 
Win-win solution adalah solusi andalanku jika mulai berdebat dengannya. Dulunya, aku laki-laki yang perfectionis. Keras dan nggak mau ngalah. Tapi entah, kenapa aku begitu lemah jika berdebat dengannya. Mungkin karena senyumnya. Mungkin juga karena binar matanya. Atau mungkin, karena memang aku cinta… 
Lalu masukkan ke dalam oven dengan suhu 180 derajat celcius dan biarkan selama 20 – 25 menit, sampai black forest matang.
Oven sudah panas, dan loyang-loyang sudah siap dimasukkan. Aku bisa beristirahat sejenak sekarang. Adzan dzuhur sudah berkumandang.
==

Kue-kue-ku sudah matang. Bahkan Mamah memujiku saat semerbak harum dari kue yang matang ini menyeruak ke seluruh penjuru rumah.

Masukkan whipped cream secara bertahap ke dalam cokelat cair agar tercampur. 
Sedikit lagi. Sedikit lagi, kue ini siap untuk ku berikan kepadanya. Hanya tinggal dihias. Tapi ini sama pentingnya dengan perihal rasa. Karena pasti akan percuma, kue seenak apapun rasanya, tidak akan menggoda selera jika penampilannya tak karuan, kan? 
Lain halnya dengan dia. Dia terjaga. Terlindungi dari tangan-tangan kasar manusia. Dan makin kukenal, makin besar rasa dihatiku ini untuk melindunginya...
  • Ambil sati lapisan sponge cake pertama . Basahi permukaannya dengan sirup, tutup dengan whipped cream pada bagian atasnya.
"Om, Aya mints cherry-nya…", Aya meminta izin mengambil satu buah dari dalam toples.

Keponakanku ini sudah pulang sekolah rupanya, dan langsung berlari ke dapur rumah saat tau paman kesayangannya sedang membuat kue. Pemandangan yang jarang. Terlebih, ini kue favoritnya.
"Om buat kue buat Aya kan?". 
Aku tersenyum. 
"Iya Aya, ini buat Aya. Yuk hias sama-sama".
Ada kue ukuran kecil yang awalnya berasal dari panggangan brownis mama, kupotong jadi 2 sama rata dan kutumpuk di depan Aya dengan lapisan Whipped Cream dan sirup diantaranya.

Mama tertawa melihat anak bujangnya dan cucu kesayangannya sibuk mengerjakan prakarya, diawasi oleh Bu Guru Tata, Ibunya Aya.

  • Tutup kembali dengan lapisan sponge cake kedua, basahi dengan sirup, lalu oleskan whipped cream pada bagian atasnya. 

  • Aku tersenyum mengamati kue yang dihias Aya. Beralih ke kue milikku. Dan sekarang aku tertawa. Tak pernah-pernah aku membuat kue seumur hidupku. Apa susahnya membawa duit dan membeli dari bakery dan cake terdekat?

  • Aku sendiri tak tau, mengapa aku rela bersusah payah begini. 
  • Hias dengan coklat batangan yang sudah diserut atau diparut dan beri hiasan cherry merah.
Semerah wajahnya saat aku menyatakan cinta. Semerah telingaku saat marah karena cemburu melihatnya bicara dengan lelaki lain. Merah. Semerah warna cherry ini.
Aku menghela nafas panjang sedetik setelah meletakkan cherry merah terakhir sebagai pemanis. Ah, aku bahkan sudah bisa membayangkan senyum termanisnya.  
16.15
Kue sudah dikotakkan, siap diserahkan. Lengkap dengan sebaik kalimat manis di kartu ucapan yang cantik.  
"Selamat Ulang Tahun, Arina. Maaf jika tak bisa memberikanmu apa-apa, sementara Tuhan telah memberikan kado terindahnya untukku."


Terpujilah, mamah, kakak, para ibu dan para pembuat kue di luar sana. Buat sebuah black forrest saja, punggungku serasa mau patah.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling.


Oh Tuhan…. Dapur Mamah berantakan.

==


Selasa, 31 Desember 2013

Kurang dari 6 jam menuju pergantian tahun… Dan aku belum mengucapkan selamat sekalipun pada dia yang berganti umur sejak 18 jam yang lalu…

Ucapan selamat ulang tahun yang kubuat sejak kemarin, hanya menjadi draft di smartphone, tanpa ada sedikit pun keberanian untuk menekan menu 'SEND' setelahnya.

Aku masih mengingat sensasi gemetar pertama kali saat menyentuh jemarinya. Jemari yang sudah lama sekali tak pernah kujumpai. 

Aku masih mengingat dengan jelas.

Aku masih penasaran dengan raut wajahnya ketika menua nanti, terlebih dengan perwujudan dari mimpi-mimpi kami…

Aku masih menyimpan sebuah film sederhana yang pernah kubuat untuknya. Begitu juga dengan potongan-potongan pesan yang pernah ku capture dan kusimpan dalam-dalam. Di dalam hati dan juga kenangan…

Aku masih merasa cemburu atas semua usaha lelaki lain yang ingin membahagiakannya.

Aku masih ingat segala janjiku kepadanya. 

Aku bahkan tak pernah lupa bagaimana raut wajahnya saat menangis di hari terakhir kami bersama.

Sungguh, aku tak mampu melihat air matanya jatuh di pipi merahnya. Aku tak bisa melihatnya kecewa. Aku tak ingin lelahku membuatnya menjadi pelampiasan tepat saat aku mengamuk marah.

Aku bahkan tak ingat, apa alasan kami yang menyebabkan kami berpisah. 
23.59
"Selamat tahun baru, Arina. Selamat menempuh usia yang baru, semoga kamu bahagia, dengan atau tanpa aku disana." 
SEND.

Oh Tuhan… Kini hatiku yang berantakan.



#Farenda_Arina



Selamat Ulang Tahun, SE. 
Semoga  makin banyak cinta dan 
konspirasi semesta untuk mewujudkan mimpimu.


31 Desember 2013.

No comments:

Terima kasih sudah singgah. Tak perlu segan untuk menyanggah atau memberi tanggapan atas pikiran yang tercurah. Kalau ada yang ingin ditanyakan atau mengganggu pikiran bisa kirim DM ke @celoteholic ya!

Powered by Blogger.