MENYULAM MIMPI DI ATAS AWAN
Luar
biasa! Benar-benar luar biasa. Aura dan semangat belajar terpancar dari
masing-masing orang yang berada dalam ruangan ini. Dari siswa-siswi SMA sampai
pegawai paruh baya pun berkumpul disini. Memasang mata mereka baik-baik.
Mengangkat kuping mereka tinggi-tinggi. Dan menanggapi materi dengan cerdas.
Aku melihat ada
beberapa wanita paruh baya yang sudah menjadi ibu di belakang dan di sampingku.
Aku pun melihat remaja-remaja yang sedang tumbuh dewasa memperhatikan pemateri
dengan seksama sambil sesekali mencatat. Dan mahasiswinya? Melesat jumlahnya
bila dibandingkan dengan peserta pria.
Aku memang baru
kali ini lah mengikuti Pelatihan KCM (Kelompok Cinta Menulis) angkatan ke VI.
Dan baru kali ini lah aku melihat wajah-wajah yang haus akan ilmu kepenulisan,
setelah tiga tahun lamanya aku vakum dari dunia tulis-menulisku. Banyak tugas
dan materi perkuliahan seakan mengisolasi semua kreatifitas yang aku miliki
dulu. Dan baru kali ini lah, aku menemukan sebuah komunitas yang dikumpulkan
oleh motivasi yang sama, semangat yang sama dan keinginan yang sama : untuk
bisa lebih pandai menulis.
Sambutan ramah dari
para panitia membuatku makin semangat. Bertekad untuk bisa menjadi junior
mereka dalam waktu dekat ini. Bersemangat untuk juga bisa mencantumkan namaku
sendiri di buku antologi cerpen seperti yang mereka pamerkan di depan. Huaaah,
sampai gerah rasanya karena kehadiran semangat yang meluap-luap ini.
Senang rasanya berada
kembali di antara semangat-semangat juang dan keinginan belajar yang kuat dari
para peserta. Mata yang mereka pasang seakan ingin menerkam segala bentuk
pembelajaran visual yang disajikan oleh para pemateri. Begitu dengan telinga
dan tangan mereka. Tak pernah lepas dari pena yang akan membawa mereka ke dalam
dunia yang mereka ciptakan sendiri.
Pemateri yang cerdas, dengan cepatnya menumbuhkan
kecintaan terhadap menulis, menyuburkan semangat untuk tetap menulis dan
kepercayaan diri untuk hidup dari menulis. Betapa inginnya aku menjadi seperti
mereka. Dan ku yakin, pikiran itu pula lah yang menghiasi sorotan-sorotan mata
mereka yang ada di dalam ruangan ini.
***
“Ada
beberapa dunia yang bisa jadikan materi, tema, atau ide dari suatu tulisan.
Kita bisa mengambil pengalaman masa kecil kita sebagai suatu cerita, seperti
pada contoh cerpen saya yang berjudul “Celoteh Sepatu”. Dan saya….”
Alpansyah, seorang penulis Nasional kebanggaan Sumatera Selatan
sedang memaparkan materinya di depan. Bagaimana seorang penulis setaraf beliau
bisa dengan mudahnya meluangkan waktu untuk
melatih kami yang mungkin masih telur (jika dunia kepenulisan kami anggap
sebagai induk ayam) ?
Tak lain adalah karena ia pun dulu pernah menjadi seperti kami.
Beliau adalah mantan anggota KCM angkatan V. (Wah… dan telur pun bisa menjadi
induk ayam dengan berlalunya waktu dan pakan yang tepat!)
Ia menyakinkan kami, tak ada yang tidak mungkin jika kami punya
keinginan untuk melakukannya. When there’s a will, there’s a way.
Tanpa ragu, ia membagi segala ilmu yang didapatkannya dari Pelatihan
Nasional di Jakarta sana .
Yang dimana para pelatihnya adalah seniman-seniman setaraf Nasional yang memang
sudah mengecap pendidikan sampai ke luar negri untuk dunia tulis menulis.
Sebuah ilmu yang tiada tandingan.
Dan ketika beliau
kembali memaparkan sebuah materi tentang dunia posesif, dunia kepemilikan, segala
benda yang ada di penglihatanku seakan hidup dan bicara, mengajukan diri untuk
menuangkan segala ceritanya lewat tangan dan pikiranku. Semangat menulis yang
sangat jarang kudapatkan dimana pun!
Dan bagaimana menyikapi
sebuah bencana untuk menjadi materi dan tema dari suatu cerita. Tapi tidak
melulu membahas bencana tersebut, melainkan hanya untuk menjadikannya data
sekunder, dimana data primer dan nyawa cerita itu berada di dalamnya. Sungguh
hebat!
Beberapa macam trik
dan tips menulisnya pun membuat aku berulang kali mengangguk-angguk,
menyuarakan kesetujuan. Potongan-potongan tulisan yang dimuat di hand-outnya begitu indah. Karya-karyanya
yang seringkali menembus harian lokal Sriwijaya Post dan majalah fiksi ANNIDA,
menggunakan bahasa yang tertata indah. Tanpa cela dan penuh dengan perasaan di
dalamnya. Perasaan yang sampai ke setiap pembaca yang membaca karyanya (bahkan
walau itu hanya sebuah potongan), termasuk aku.
Banyaknya karya
beliau yang masuk di media dan dipublikasikan tidak pula membuatnya sombong
kepada kami yang masih pemula. Ia tampak tak kenal lelah menjawab satu per satu
pertanyaan yang kami ajukan. Dan tak lupa membagi trick ‘n tips untuk menembus media dengan karya kami.
Tiga jam bersama
beliau saja sudah membuat halaman-halaman kertas di notes kami penuh. Bagaimana
jika ia mengadakan workshop? Tentunya
akan sangat potensial sekali akan ilmunya.
Dan dalam sekejap,
aku sudah menjadi penggemarnya.
***
Setelah
sesi rehat sejenak dengan saling memijat –aku masih sering tersenyum jika
mengingatnya- dan menikmati sajian snack,
aku dikejutkan dengan hadirnya Azzura Dayana! Ya, Azzura Dayana, si pengarang
Birunya Langit Cinta!
Oh Tuhan, andaikan saja aku tau, atau para panitia memberitahukan
bahwa penulis Nasional lainnya yang akan datang adalah ia, tentunya tak akan
kubiarkan saja novel bercover biru
langit itu teronggok di rak buku kecilku. Tak akan kusia-siakan kesempatan
untuk meminta tanda tangannya.
Tapi, ya sudahlah, nasi sudah menjadi bubur. Tak ada yang perlu
disesali bukan? Karena penyesalan hanya akan menjadi pintu masuk bagi syetan
untuk selalu mengganggu kita.
Beliau
memperkenalkan diri sebagai Mbak Yana. Dan beliaulah yang membuka sesi
perkenalan, satu per satu, ya, SATU PER SATU dari kami harus berdiri dan
memperkenalkan diri, menyebutkan prestasi kepenulisan dan motivasi mengikuti
KCM IV ini. Ya ampun! Tanganku sampai dingin pada saat giliranku berdiri dan
bicara diperhatikan seksama olehnya.
Walaupun waktu yang
diberikan -satu setengah jam- itu banyak habis digunakan untuk acara perkenalan
diri tersebut, tidak ada yang mengeluh. Karena tak kenal maka tak sayang bukan?
Toh dengan begitu, kami jadi mengenal para panitia dengan lebih baik. Dan
mungkin, yang tinggal di daerah pilihan lima
untuk Pesta Demokrasi tanggal 9 April nanti telah mendapatkan calon anggota
legislative yang akan dipilihnya nanti.
Mbak
Yana membuka acara dengan gaya
yang semiformal. Keramahan dan kerileksannya menghadapi kami mencairkan
suasana. Sesekali kami tertawa kecil menanggapi ceritanya. Sama seperti
pemateri sebelumnya, Bapak Alpansyah yang mampu membuat kami tertawa kagum
dengan cerita-lucu-singkat karangannya yang ditutup dengan tehnik hempasan.
Tehnik yang memang benar-benar meninggalkan kesan bagi para pembaca ataupun
pendengarnya, karena sampai sekarang pun, aku masih mengingat dengan jelas
bagaimana ceritanya tentang seorang anak SMA yang mengalami berbagai macam
kesulitan untuk mencapai sekolahnya, dan begitu sampai sekolah, ternyata bel
pulang malah dibunyikan karena para guru akan rapat dengan komite sekolah. Dan
lagi-lagi, aku selalu tersenyum meningatnya. How poor he was…
Kembali ke Mbak
Yana. Beliau menjelaskan tentang bagaimana hidupnya sekarang yang telah tinggal
di Jakarta Selatan. Bagaimana kehidupannya sebagai editor. Bagaimana
kehidupannya di Lingkar Pena Publishing House. Dan bagaimana ceritanya sampai
ia bisa menjadi penulis terkenal seperti sekarang.
Dan sumpah demi
apapun, semua itu semakin membuatku untuk tetap mengobarkan semangat ini,
menumbuhkan bakat ini, mengasah segala kemampuan indra ini dan meneruskan
perjuangan ini, karena dakwah pun, bisa dimulai dari pena, bukan?
Tak akan aku berhenti menggoreskannya walau darah sekalipun yang
menjadi tintanya. Aku sudah memilih jalan ini. Jalan perjuangan ini. Jalan
dengan gerbang ilmu ini. Dengan pilar-pilar pena di sepanjang jalannya. Jalan
yang membuatku bertekad, untuk tidak menciptakan tulisan-tulisan yang
menjerumuskan, tapi malah mengajak pada pembenaran. Jalan yang tidak akan membuat
aku bermimpi, bahkan di atas awan sekalipun, jilakau perlu, mimpiku itu akan
sampai menyapa taburan bintang di antariksa sana . Mimpi bahwa suatu saat nanti, aku pun
akan terkenal seperti para pemateri tersebut. Dan mimpi, bahwa di suatu saat
nanti, aku lah yang berdiri di depan, di perhatikan oleh para
penerus-penerusku, untuk tetap menciptakan perubahan-perubahan ke arah yang
lebih baik, walaupun hanya dengan goresan pena dan tetesan tinta.
Karena aku sedang
menyulam mimpi! Mimpi di atas awan.
***
Dan berikutnya,
pertemuan ketiga tentang pengenalan fiksi dan menulis puisi di salah satu
masjid di daerah Bukit Siguntang. Hm, mendengar judul materinya saja sudah
membuatku membayangkan berapa banyak puisi yang akan kubuat nanti dengan
goresan penaku di kala aku ingin mencurahkan perasaan. Karena tiap materi yang
berasal dari para pemateri yang dipilih oleh FLP, tentu saja sudah memiliki
kualitas yang tidak meragukan.
Dan Bukit Siguntang, here
I come…J
Memoar 8
Maret 2009
Oleh DINA OKTAVIANY PUTRI
No comments:
Terima kasih sudah singgah. Tak perlu segan untuk menyanggah atau memberi tanggapan atas pikiran yang tercurah. Kalau ada yang ingin ditanyakan atau mengganggu pikiran bisa kirim DM ke @celoteholic ya!