Catatan Mingguan KCM VI
Matahari bersinar garang,
memancarkan sinarnya yang terik. Bahkan para jangkrik pun ikut berteduh
melindungi diri agar tidak terpanggang, mungkin itu sebabnya aku merasa nyaman
berteduh di antara pohon dan rimbunan tumbuhan pagar, karena ada alunan musik
alam dari kawanan jangkrik dan buruk di sekitarnya.
Tapi
panas tetap saja panas. Apalagi tanpa teman seperti ini. Lewat 30 menit dari
waktu yang ditentukan, baru berkumpullah para manusia peserta KCM VI. Tidak
tanggung-tanggung, Museum sejarah Sultan Mahmud Badaruddin II yang panitia
pilih sebagai tempat berkumpul. Awalnya aku kira, kami memang dipersiapkan
untuk masuk dan meliput ke dalam museum, mengingat materi bahasa adalah fiktif
(cerpen, novel, dsb), mungkin saja kan ,
kami membahas epik dan melihat sumber-sumber inspirasinya. Ternyata dugaanku
melesat 120%! Alhasil aku terpanggang panas sendirian, cukup lama dan
kebingungan mencari kawan-kawan senasib sepenanggunganku.
Tapi
untunglah, tidak lama kemudian, mereka datang satu per satu. Dan setelah
digiring kesana kemari tak jelas dan tak tentu (entah karena masih menunggu
panitia yang lain atau masih mengumpulkan peserta), akhirnya kami duduk
melingkar (lingkaran yang besar), beralaskan koran, dan memulai kegiatan kami
di depan umum, di ruang terbuka, di samping sungai Musi! Betapa beraninya
panitia menggelar kami di tempat seperti itu (rasanya, ingin sekali aku
memberikan standing applause kepada
mereka). Banyak pedagang asongan, pengunjung lalu lalang, wisatawan, para supir
dan pengangguran yang tak jelas juntrungannya memperhatikan kami. Tapi toh, hal
itu tidak membuat kami peduli. Karena kami, ada disini, bukan untuk jadi
tontonan mereka.
Agenda KCM VI kali ini adalah
tentang fiksi, dan panitia memilih sub tema bedah cerpen untuk
mengaplikasikannya. Kami dibagi dalam beberapa kelompok yang berisikan 5-7
orang, lalu membedah, mencari, menyimpulkan apa-apa saja yang kami dapat dari
sebuah cerpen. Cerpen yang dipilih adalah sebuah cerpen karya anak bangsa, jebolan
FLP Lubuk Linggau yang kumpulan cerpennya memang sudah diterbitkan menjadi
sebuah buku antologi. Meminang Fatimah, itu judulnya. Sebuah cerpen tentang
dunia ikhwan dan lika-liku tentang perjalanan penggenapan setengah dien-nya.
Sebuah cerita tentang tehnik hempasan yang mampu membuat kami berkata, “Ya
ampuuuuun, masya allah….”
Bagaimana
tidak? Fatimah, sang gadis, ups maaf, maksud saya, sang akhwat yang selama ini
selalu mengisi hati dan hari-harinya ternyata telah meminta si ikhwan –bernama
Dani- untuk menjadi suaminya melalui proposal dan taaruf lewat murabbi
masing-masing. Sayangnya, ta’arufobia (istilah yang kelompok kami buat) yang
meliputi Dani dari dulu hingga sekarang, membuatnya menolak ajuan proposal itu
tanpa tau bahwa sang akhwat pujaan lah yang memintanya meminang. Betapa hancur
hati Dani, ketika ia sudah mempersiapkan diri sekuat mungkin, semaksimal
mungkin, untuk meminang Fatimah, ternyata Mufti, kawan sehalaqohnya datang
dengan membawa undangan. Undangan pernikahan Mufti dan Fatimah, sang akhwat
yang ditolak Dani dan di’oper’ ke Mufti, kawan dekatnya sendiri. Waaaah,
benar-benar tragis… Tiada yang bias dipersalahkan, dan tiada yang bias
menentang. Jika Allah sudah berkehendak, maka jadilah…
Dikumpul
sebagai tugas mingguan
Oleh
DINA OKTAVIANY PUTRI
No comments:
Terima kasih sudah singgah. Tak perlu segan untuk menyanggah atau memberi tanggapan atas pikiran yang tercurah. Kalau ada yang ingin ditanyakan atau mengganggu pikiran bisa kirim DM ke @celoteholic ya!