Tentang Dilan: Selamat datang, Muharram!

Sabtu, 30 September 2017

Sebelum tahun berganti dan sebelum nubie mommy ini disibukan dengan tingkah bayi yang semakin menjadi-jadi (pintarnya), saya bertekad untuk membuat postingan ini. Postingan yang mengabadikan kedatangan anggota baru keluarga kecil kami, bayi yang luar biasa lucu sekali.

Dilan berumur 15 menit


Dari sejak awal menginstal aplikasi kehamilan modal googling di hape, saya sudah memprediksi (dan agak memaksa) kalau bayi ini (kalau bisa) harus lahir saat ulang tahun pernikahan kami yang pertama, 24 September 2017. Perkiraan yang aplikasi hitung menurut HPHT, hanya mundur 2-3 hari dari tanggal tersebut, Bakal pas sekali momentnya kalau hadirnya buah hati ini jadi kado terindah di 1 tahun pernikahan kami. 

Tapi pada kenyataannya… di minggu ke-38, sang bayi sama sekali tidak membuat adanya kontraksi pada perut Buna-nya. Posisi kepala memang sudah di bawah dari sejak minggu ke-32. Tapi ya itu tadi, hanya makin berat, makin ngos-ngosan, tanpa adanya rasa kencang ataupun sakit-sakit ala-ala orang (persiapan) mau melahirkan. Karena itu pula, saya tetep pergi praktek, tetep pergi motret, sementara perut semakin membesar dan seringnya disangka mengandung anak kembar. :))

Saya dari awal kehamilan sih, niatnya mau lahirin normal, makin niat begitu tau kalo lahiran normal langsung jalan sejam atau dua jam setelah lahiran, which is bikin saya bisa langsung praktek 2 minggu setelah lahiran, karena di klinik, gak ada yang gantiin praktek. Tapi, niat tanpa usaha seperti orang-orang lain lakukan itu kaya NOL besar ya buat saya, hahahaha, mana pernah saya ngepel jongkok, ikut prenatal yoga, main gym ball, sampai latihan pernafasan, bisa bawa badan untuk jalan dan aktivitas aja udah ngos-ngosan. Masih ngarep lahiran normal? Mungkin diketawain orang :)) 

Dan saya berserta suami memang sudah keranjingan untuk menengok bayi yang ada di dalam kandungan. Dari yang hanya terlihat kantung, sebesar biji almond, sampai bisa dadah-dadah ke Abby Buna-nya, sebulan bisa 2-3x kami menyambangi Sp.OG yang berbeda. Karena itulah, rekam medik atas nama Buna-nya ini tak pernah ada lebih dari 3 nama dokter yang sama, di 2 rumah sakit yang berbeda. 

Karena hadirnya bayi, juga menghadirkan rejekinya tersendiri, tak pernah sekalipun kami membayar biaya kontrol atau USG, di 2 Rumah Sakit yang kami datangi, RS.Hermina dan RS. Siloam Sriwijaya, karena pasien dengan asuransi mandiri inhealth tercover semua disana, kecuali untuk obat-obatan yang memang tidak ditanggung, tapi seringkali, memang obat yang diresepkan dokter sedang kosong stoknya, jadi mau gak mau, beli obat subtitusi yang tidak ditanggung tadi. 

Begitu makin mendekati hari, makin seringlah kami menengok sang bayi yang tak lagi mau menampakan wajahnya, hanya terlihat, kepala, posisi di rahim, dan apakah ada lilitan atau tidak. Dan makin sering ditengok, makin tak sabar untuk segera bertemu, sampai tak bisa tidur semalaman nyaris selama 1 minggu di minggu ke-37. Karena katanya, di minggu ini, bayi sudah cukup bulan untuk lahir, dan ketuban pun bisa pecah kapan saja. 


Ada satu kejadian sebulan sebelum lahiran yang sempat bikin Abby-nya uring-uringan. Muncul pemberitaan di kantornya, surat resmi, bertanda tangan, bahwa per tanggal 1 September 2017, 2 rumah sakit yang rajin kami sambangi untuk melihat si bayi, TIDAK LAGI MENANGGUNG PASIEN DENGAN ASURANSI MANDIRI INHEALTH, dan dialihkan ke rumah sakit perusahaan (RS.PUSRI) dan RSU Bunda yang ada di pusat kota, yang lumayan jauh jaraknya, jika kemacetan dihitung juga. Sementara biaya lahiran, baik yang normal maupun caesar tidak ada yang di bawah 10 juta, di 2 rumah sakit sebelumnya. 

Pendek kata, daripada keluar cost yang lebih besar, akhirnya terima terima saja, kontrol di RS.Bunda, walau jaraknya yang jauh dan dokternya yang sama sekali baru.

Di tanggal 14 September 2017, saat memasuki minggu ke-38, ini pertama kalinya kami kontrol kehamilan di RSU Bunda. 26 kali kontrol kehamilan dan USG sebelumnya memang menghindari dokter laki-laki, kalau di jam tersebut ada dokter wanitanya. Tapi karena pada saat itu hanya ada satu dokter laki-laki, senior dan sudah tua sekali, akhirnya saya menyetujui untuk diperiksa beliau. 

Dan disini, saya merasakan pertama kali dalam hidup, bagaimana cara dokter dan bidan MENGECEK BUKAAN. Oh tidak. Ngilu sengilu-ngilunya. Terlebih, dokternya lelaki (walau sudah tua) dan disaksikan oleh sang suami. 

Dokternya bilang belum ada bukaan, kepala bayi belum turun ke pelvis, dan di raba di pun belum ada yang menekan, hanya saja memang posisi bayi sudah di bawah dan kepala sudah di jalan lahir. Mungkin minggu depan bayinya sudah siap untuk lahir, dokter bilang. Okelah, saya bertekad untuk datang lagi minggu depan, tapi untuk kontrol dengan Sp.OG siapapun asal bukan laki-laki dan bukan dokter ini.

Perut makin besar, nafas makin ngos-ngosan, dan pasien makin banyak (rejeki bayi), harusnya bikin saya lelah dan tidur lelap di malam hari, walau faktanya, sepanjang malam terjaga untuk merasakan tendangan dan kalau-kalau ada ketuban yang pecah di pagi buta. Apalagi saat ditinggal suami kerja shift malam sendiri. Saya bisa streaming nonton drama korea di VIU sampai Subuh tiba dan suami pulang dari kantornya, untuk menghilangkan nervous, kalau-kalau bayi ini lahir tanpa saya punya persiapan sama sekali. 

Suami juga sama nervous-nya. Karena saking tidak sabarnya menunggu, dia pernah nawarin untuk caesar di tanggal 17 September 2017, saat dirinya sedang libur kerja. Hahahahaha. Dikiranya operasi caesar kaya motong daging steak trus pas kenyang tinggal bayar ke kasir. Mbuh.

Tanggal 18 September 2017, Ibu datang dari Lampung, untuk menemani lahiran walau belum tau kapan cucunya lahir. Karena kalau harus mengikuti HPL, saat itu Ibu harus berada di Lampung untuk urusan kerjaan, jadi si Ibu, datang duluan. Dua hari ada Ibu di rumah, meja makan selalu penuh masakan, dan rumah jadi luar biasa bersihnya, sampai debu pun gak berani nempel di jendela. 

Sampai di tanggal 20 September 2017, saya ingat hari itu Ibu ulang tahun, tapi belum beli persiapan kue -apalagi kado- di malam harinya. Terlebih, hari ini, adalah jadwal kontrol bayi yang memasuki minggu ke-39. Jadi, berangkat dari rumah, tanpa sempat mengucapkan selamat ulang tahun sama Ibu, karena niatnya, ngucapinnya nanti sekalian pake kue dan kado. 

Keluar rumah dari jam 8 pagi, pergi ke fasilitas kesehatan pertama dimana suami dan saya terdaftar sebagai pasien kapitasi BPJS-nya, berniat buat rujukan untuk ke RS. Hermina demi lahiran bebas biaya. Dan ternyata, prosesnya ribet, ya teman. Harus ada keluhan dan hal yang membahayakan janin dulu, baru bisa dibuat rujukan. Mampir ke RS.Hermina untuk nanya prosedur pasien asuransi yang sama ribetnya karena pembayaran pake sistem reimbursment. 

Sampai akhirnya kami tiba di RSU. Bunda untuk kontrol kehamilan yang ke 28 kali-nya. Alhamdulillah kali ini Sp.OG yang jaga, wanita. Dan asik orangnya. Saking asiknya, begitu cek perut saya yang luar biasa besarnya kaya orang busung lapar, dokter kali ini, yang baru saya temui pertama kali, bilang, 

Dokter: “Wah…. pantes aja gak pernah ada kontraksi. Kepala bayi-nya melenceng sedikit dari jalan lahir. Dia gak akan bisa masuk ke pelvis, kalo posisinya begini terus.”

Saya: “Jadi gimana dok? Ada kemungkinan gak untuk lahir normal?”

Dokter: “Nggak bisa ini kayanya. Harus caesar. Daripada nanti pecah ketuban dan kering di jalan.”

Saya: *bengong*

Suami: “Caesarnya bisa sama dokter? Kapan dok, kira-kira?”

Dokter: “Bisa. Malem ini jam 9 ya. Sekarang saya buat rujukan ke poli rawat jalan untuk pemeriksaan lengkap sebelum operasi. Nanti begitu jam 3 sore udah gak boleh makan lagi…bla…bla…bla…”

Saya: *shock, udah gak mampu lagi mencerna* 

Shock karena kan tadi niatnya cuma kontrol doang! 
Shock karena saya tau gimana kondisi kamar operasi, shock karena saya tau pasiennya diapain, dan ada berapa orang yang ngapa-ngapain pasiennya disana. 
Shock, karena hari ini saya bisa ketemu sama si kecil Dilan!

Suami? Sumingrah dia. Mau ketemu anaknya. Semangat banget ngajakin saya ngecek kamar, ambil darah, tes cardio, paru-paru, sampe nyariin makan siang. 



Jam 3 sore  saya masuk ruang persiapan persalinan, ganti baju pasien bersalin, pasang gelang identitas pasien, dan diistirahatkan sebelum nantinya dibawa ke kamar yang telah dipersiapkan untuk menunggu waktu operasi. Disuntik obat untuk mematangkan paru-paru bayi di kandungan, yang bikin gatal menyengat sampai ubun-ubun kepala (walau cuma sesaat). Lalu tibalah saatnya saya dipindahkan ke ruang rawat inap, untuk menunggu jam 9 malam. Menunggu sekitar 5 jam, yang saya isi dengan sibuk balesin chat WA pasien yang nanya, saya praktek atau nggak, izin ke pihak klinik kalau saya hari itu tidak praktek untuk seterusnya, dan nyari dokter gigi pengganti di H-60 menit waktu praktek. Luar biasa. 😂

Di sela-selanya, ada ibu dan suami yang bolak balik membawa banyak sekali barang untuk persiapan menginap di rumah sakit. Walau yang minep cuma suami, tapi persiapannya sudah untuk tamu yang bakal datang menjenguk nanti. Penting loh, ada air mineral kemasan gelas di kamar rawat inap.

Begitu jam 8 malam, beberapa suster datang untuk mengambil saya; di ruang rawat inap saat itu sudah ada ayah ibu mertua, ibu, dan suami. Mereka juga sama nervous-nya dengan saya. Karena belum ada satupun dari mereka yang pernah operasi caesar sebelumnya. 

Apalagi suami, baru keliatan paniknya, saat dia bilang dengan kalemnya, 
“Bun, harus selamat ya kamu. Awas kalo nggak.”

Jam 20.15 tiba di ruang persiapan operasi, ganti baju operasi, yang dibaliknya polos tanpa sehelai benang pun. Pamit sama semuanya, minta doa dari dua ibu yang luar biasa, salim tangan suami sembari nitip hape (karena ternyata hape gak boleh dibawa, kirain bisa ngerekam di dalem sana 😂), dan cuma bisa ngelus-ngelus perut, banyakin istighfar. 

"Ya Allah, mudahkan. Lancarkan. Sehatkan kami berdua.", cuma itu yang saya batinkan berulang-ulang.

Jam 20.30, masuk kamar operasi. Pindah dari bed ke meja operasi yang dibantu sama 6 orang pegawai disitu (iyes, telenji di depan 6 orang asing itu), udah gak mikir lagi kaya mana pikiran mereka ngeliat badan dan perut yang udah kaya nyimpen Rubah Ekor 9, dengan mantra berbentuk selulit menyebar dimana-mana. 

Dipasangin selang oksigen, ditempelin tensimeter dan pengecek nadi, lalu dibangunkan oleh dokter spesialis anastesi untuk melakukan posisi duduk 90 derajat, sebelum akhirnya disuruh menekuk layaknya udang, untuk membuat semua tulang belakang terlihat keberadaannya.

Ini persis pengalaman saya waktu koas dulu. Bedanya saya jadi pasiennya disitu, bukan asisten dokter.

Di ruangan itu saya teriak nama Allah berapa kali. Sebelum anastesi berjalan dengan sempurna.

“Allahu Akbar” nyatanya memang mampu memberikan tenaga dan memulihkan tekad yang rasa-rasanya mendadak runtuh tiap sepersemili gerakan jarum membuat rasa ngilu yang tak ada ampunnya. Sakit. Sakit luar biasa saat jarum anastesi spinal yang dimasukan mencari celah untuk bisa ngebius saraf dari pinggang hingga ujung jari kaki. Dan karena saya gendut… Itu jarum suntik perlu ditusuk cabut sampe 3 kali untuk bisa ketemu celah yang tepat, diselingi omongan dokter Sp.An laki-laki dari belakang punggung, “Jangan bergerak ya Bu, kalo Ibu bergerak terus, jarumnya gak bisa masuk, nanti makin susah disuntiknya.”

Pengen jambak rambut dokternya deh.

Dan alhamdulillah, begitu anastesi sudah bereaksi dengan rasa kesemutan dan kebas sepanjang kaki, saya ditidurkan kembali, dipasang screen pembatas yang ditutup kain (padahal pengen liat), dan dokter Sp.OG yang saya temui tadi siang datang. Ini pertemuan kedua kami, loh. Dan langsung di meja operasi. Hahahaha, laa haula walaa quwwata illabillah saja lidah saya sepanjang ia bicara dan menyapa. 

“Saya mulai ya… “, dan terasa ada yang menusuk tapi tidak sakit…
“Kerasa gak, pisaunya motong?”, kerasa… tapi gak sakit. Sensasinya kaya kamu narik kuping ke bawah atau narik bibir ke luar. Kerasa tapi gak sakit. 

Dan, BYUR!! seketika.

“Ketubannya pecah ya… Wah… untung di operasi sekarang, ini ketubannya udah mulai berubah warna jadi hijau…”

Dan ada tangisan bayi yang menggema. 
Detik itu juga saya ikut menangis, akhirnya bayi yang saya nanti-nanti, sudah tiba di dunia dan menangis dengan kencangnya. Bayinya diambil oleh sang dokter, untuk diserahkan ke asistennya dan didekatkan ke saya. 

“Ini bayinya ya, Bu”, ujarnya sebelum bayi itu di bawa ke meja di pojok ruangan tempat pengukur dan dokter Sp.Anak yang stand by disana.




Matanya sipit, bibirnya merah dan panjang sekali badannya. Saya menangis sambil mendongak, memperhatikan sepanjang bayi itu disana. Sebelum akhirnya dibawa keluar dan membuat semua yang menunggu pun bertanya-tanya, 

“Itu yang nangis bayi siapa?”
“Ah, bukan bayi iin, ah… kan baru sebentar iin masuk ke dalam. Belum juga 20 menit.”

Dan bertanyalah ibu mertua kepada suster yang lewat, “Itu bayi yang nangis bayi siapa ya sus?”

“Itu bayi drg.Dina yang tadi masuk kamar operasi, Bu.” 

Ruang tunggu menjadi heboh seketika, oleh para ibu dan ayah yang kini menjadi nenek dan kakek. Terlebih Ayahnya Bayi, yang bergegas mengadzankan, lalu tak kurang mengambil 50 foto si bayi dalam sekali waktu dari balik jendela kaca kamar bayi. 

Lega. Lega sekali rasanya, bisa menghantarkan Dilan dengan selamat menuju dunia. Bertemu dengan bayi yang selama ini selalu menemani saya kemana-mana. Yang telah dengan begitu kuatnya, hebatnya, menjadi teman belajar, teman menangis, teman tertawa, teman makan, terlebih teman berdoa di kala malam-malam tanpa tidur yang tenang. 

Cepat sekali operasi caesar ini ya, ternyata. Dan alhamdulillah Allah lancarkan. Hanya kuasa Allah yang bisa membuatnya serba cepat, serba mudah dan serba selancar ini.

Dilan lahir di tanggal 20 September 2017, pukul 21.17, 17 menit setelah dr.Henny, Sp.OG datang ke ruangan. Berkelamin laki-laki dengan panjang badan 50 cm dan berat 3,78 kg, bayi yang membuat saya naik lebih dari 20 kg ini sudah lahir ke dunia, tepat di hari ulang tahun Nenda-nya, Ibu saya. 

  


Dan tepat setelah keluar dari kamar operasi, ditempatkan di ruang sadar, Dilan dihantarkan ke pelukan saya. Saya melihat matanya yang ternyata belo, bibirnya yang merah, pipinya yang penuh, tubuhnya yang gempal, putih bersih, dengan mongolian spot di bokongnya dan memeluknya sambil terus menciumi kening atau ubun-ubunnya tanpa henti. Melakukan IMD yang dengan mengejutkan, anak ini kuat mengangkat kepalanya sendiri walau tak lama. Mencoba memberinya ASI, tapi saya dilarang bergerak ke kanan atau ke kiri sampai 6 jam setelahnya nanti.


Bahagia hadir di wajah-wajah lelah ibu dan ibu mertua yang menunggui saya sedari sore, di wajah ayah mertua, di wajah suami yang masih terkagum-kagum melihat anaknya bukan dalam bentuk 4 dimensi. Menggendong, menciumi, dan memeluknya tak henti-henti. Mereka sibuk menebak, akan mirip siapa nantinya lelaki kecil nan mungil ini, menaksir hidungnya yang copy paste dari saya, tapi bibirnya merah dan tipis setipis bibir Abby-nya. 

  


Ada banyak cinta yang berpendar di sekeliling ranjang saya saat itu. Dari mata orang-orang yang saya cintai. Cinta dari orang-orang yang mencintai saya. Cinta yang hadir dari sejak sebelum kamu lahir ke dunia.

Selamat datang, Muharram. Selamat datang membawa perubahan di tahun yang baru ini. Terima kasih telah tumbuh begitu kuat, dan menyuburkan cinta yang begitu hebat. 

Dilan Muharram Cunda Abidin, kamu putra pertama kami. 




1 comment:

  1. Ya Allah, indah banget. Nangis baca ini. Sekali lagi selamat ya, Kak. Selamat karena di 2017 ini Kakak dapat hadiah yang luar biasa. Tante Teteh adore your little family so much! ❤️

    ReplyDelete

Terima kasih sudah singgah. Tak perlu segan untuk menyanggah atau memberi tanggapan atas pikiran yang tercurah. Kalau ada yang ingin ditanyakan atau mengganggu pikiran bisa kirim DM ke @celoteholic ya!

Powered by Blogger.