DALAM MIMPI ADA JANJI

Well, malam ini saya malam mingguan lagi, di kostan. tanpa kawan. tanpa teman. sendirian.
Yup, sendirian. Entah ini malam minggu keberapa yang saya lewati tanpa telponan dan smsan dengan kawan.
tapi saya senang. Setidaknya masih ada televisi dan acara-acaranya yang menghibur saya. masih jelas bagaimana tawa saya memenuhi seantero kamar kosan, karena
lawakan Sule, Parto, Andre dan Azis. 
Belum lagi decak kagum saat menonton bakat-bakat yang dikomersilkan di tivi.
tapi dalam kesendirian itu juga, yang bikin saya berhasrat....untuk ngeblog!

Tapi mohon maaf sebelumnya. Saya disini bukan penulis profesional. Bukan penulis-pemerhati-EYD pula. Jadi maafkan bila mungkin, post ini tergolong: rubish.

Sendiri.itu menyenangkan. -ralat menenangkan. 
Seperti kesendirian kali ini yang membuat otak gue flash back akan masalah-masalah yang menimpa gua.
Kesendirian yang kembali memaksa motivasi untuk keluar dari kotak berdebunya di dalam hati.
Sebenernya gua nggak pernah terlalu mempermasalahin kesendirian itu. Ga pernah. Bahkan saat kesendirian itu hadir karena sebuah patah hati, atau salah ambil keputusan. Well, awalnya, memang sakit. Tapi, ada kalimat dari dosen gua yang nyemangatin banget.
Beliau bilang, 
"Just stop blamming your self. You can blame ur self once, than, forget it and move on."
Cara yang tepat untuk menyikapi kepesimisan akan kegagalan 'kemarin'.
Malam ini, banyak kelebatan-kelebatan impian, dan harapan yang saling berkejaran untuk diwujudkan. Tak lupa, mengekor masalah dan kawan baiknya: 'rasa-patah-arang' yang selalu, selalu menyisakan bekas airmata dan insomnia bagi gua. Setidaknya, seperti malam-malam sebelumnya. Dan mungkin juga, malam ini.

Mimpi tersimpel yang ada di otak gua saat ini adalah membahagiakan orang tua, dengan segala cara. Membuat mereka tersenyum bangga dan bahagia akan anak mereka. Yaitu gua. Mimpi tersimpel, dan tersulit untuk diwujudin. Karena walau pada hakikatnya, para orang tua bilang, kebahagiaan mereka adalah saat melihat anaknya bahagia, tapi telinga mereka tidak akan pernah tuli akan omongan para 'tetangga'. Dan tetangga, adalah pembuat role model, apa itu 'keluarga bahagia' tanpa harus takut menjalani proses dalam menuju sebuah kebahagiaan itu. Karena, toh bukan mereka pemeran utamanya. Mereka cuma sutradara tak kasat mata yang menentukan ini itu tanpa harus mengeluarkan kalimat perintah.

Kenapa begitu? Gua yakin, bokap dan nyokap gua (juga) pasti ngerasainnya. Bahwa mereka lebih cenderung mendengarkan 'omongan-para-tetangga' dibandingkan omongan-buah-hatinya.
Mimpi gua yang awalnya gua pikir simpel, jadi begitu sulit saat ternyata, bukan cuma orang tua gua aja yang 'harus' gua bahagiain. Melainkan orang-orang lain. Orang-orang pembuat role model tak kasat mata itu.

Dari gua kecil, sejak gua masih bawa botol minum gambar tokoh kartun Walt Disney berjalan ke sebuah Taman Bermain Kanak-Kanak, para tetangga selalu nanya sama nyokap,
"Bu, anaknya udah bisa apa aja? Udah bisa baca? Berhitung? Anaknya si anu udah bisa baca berita di koran loh..."

Nyokap cuma bisa senyum dan diam. Memikirkan bagaimana cara agar gua juga bisa membaca koran. Lalu, dibelikannya lah bermacam-macam buku bergambar segala jenis binatang dan warna yang terang-mencolok, disertai dengan tulisan separagraf-separagraf pada tiap lembarnya. Yang lalu gua kenal dengan nama fabel, saat gua kelas V SD. Yang menjadikan gua sangat rajin membaca saat umur 5 tahun.

Lalu, saat gua udah bisa membaca dan menghitung dan (akan) mengenakan rok merah dan baju putih, para tetangga itu kembali bertanya,
"Bu, si Iin (nama panggilan gua-red) nanti mau disekolahin di SD mana? Aduh, milih SD sekarang harus yang bagus loh, yang disiplin! Biar nanti belajarnya rajin, dan jadi pintar, kaya anaknya si A. Anaknya si B juga bagus, keluaran SD swasta yang mahal sih."
Lalu mulailah nyokap bernegosiasi dengan bokap, menyingkirkan daftar list SD-SD Negeri yang ada, dan memilih, satu SD swasta yg cukup terkenal dengan uang masuknya dan kedisiplinannya, dengan alasan tambahan: dekat dengan rumah nenek.

Menghabiskan 6 tahun dalam SD beryayasan yang dibina oleh Persatuan Istri Prajurit, dan mewajibkan para muridnya menjadi konsumtif dengan satu gedung bernama koperasi, gua nggak mungkin nyia-nyiainnya dengan tetap menjaga keperawanan otak gue. Ini otak harus diasah. Diasah biar tajam. Setajam yayasan mengiris tabungan keluarga gue secara bertahap, fast and sure

Dan keluarlah gue, menjadi peraih NEM tertinggi kedua pada saat itu. Mau tau, gimana rasanya saat memandang bokap tersenyum sumingrah saat namanya dipanggil ke podium atas nama gue, saat perpisahan kelas VI SD ? Saat itulah, gue tau, gimana caranya bahagiain bokap nyokap gua.

Dengan sering membuat mereka naik ke panggung, sebagai wali/ orang tua dari gua.

Saat gue (akan) mengenakan putih-biru yang kata orang gerbang menuju ke kedewasaan, para tetangga itu mulai berkicau lagi,
"Jeng, denger-denger, si Iin NEM-nya tinggi ya? Tapi NEM tinggi begitu bisa masuk SMP favorit nggak ya? Kabarnya, masuk SMP favorit itu susah loh..."
Maka merah lah kuping nyokap, dan dipaksa lah gue untuk masuk ke SMP favorit se-provinsi itu.
Sebuah SMP Negeri yang cukup membanggakan, jikalau pada saat itu, kita punya badge-nya di lengan sebelah kanan baju sekolah.

Begitu juga saat akan memasuki SMA. Saat sebuah kelas percepatan (akselerasi) sangat populer di jaman itu. Para tetangga lagi-lagi berkicau, bertanya, apakah gue bisa masuk kelas akselerasi itu (kalau gue emang 'beneran' pinter).

Maka, ikut tes lah gue, menyenangkan hati orang tua. Dan masuk. Dan diterima. Mengorbankan 3 tahun masa kejayaan SMA dalam sebuah kelas 'cukup' eksklusif yang dipercepat menjadi 2 tahun, masa belajarnya. Nggak ada tuh rasa-rasa yang menyenangkan, huru-hara yang melenakan, ataupun kongkow-kongkow yang sia-sia.

Segala kegiatan hanya dilakukan jika ada tujuan. Mencoba melawan takdir, gua tetap 'mencoba' ngeksis di SMA. Membaur dengan kawan-kawan di kelas biasa. Walau tidak selamanya gua bisa membaur, setidaknya, nama gua masih mereka kenang sebagai kawan. Nggak seperti anak aksel lain yang mungkin mereka kenal. Itu cara gue, berkompromi dengan takdir.

"Orang-orang yg berhasil di dunia ini adalah orang-orang yg bangkit dan mencari keaadaan yg mereka inginkan ,dan jika tak menemukannya, mereka akan menciptakannya sendiri....", itu kata temen gue.
Berkompromi dengan takdir. Ikhlas menerimanya, dan menjalani dengan sepenuh hati, lu ga akan nyangka, apa yang bakal DIA beri.

Saat para tetangga itu mulai menentukan role model yang baru, tentang "anak berhasil setelah lulus dari bangku sekolah", tanpa perlu nyokap minta, gue tunjukkin pada mereka-para tetangga itu (dalam sebuah interaksi yang tanpa pertemuan dan tanpa kata-kata), bahwa gue bisa berhasil. Bisa bikin orang tua gue bangga lagi. Nunjukkin sama para tetangga, bahwa gua emang bisa diandalin dan bisa dipercaya. Melampaui standar role model yang mereka tetapkan. Menjadi dokter, seperti cita-cita gua dulu. Dokter gigi, khususnya. Karena, I have found something new here...

Gue masuk ke Kedokteran Gigi sebuah Fakultas Kedokteran di universitas negeri di Sumatera Selatan, Universitas Sriwijaya. Tanpa tes. Telak sudah. Sekaligus membuktikan, gua bukan cuma jago di kandang sendiri. Berani merantau tanpa sanak saudara atau famili. Benar-benar sendiri dan mengurus semuanya sendiri. Dan kicauan-kicauan para tetangga itu sempat berhenti sejenak saat gua udah ga tinggal di antara mereka. Saat gue ngekost di tanah orang seorang diri.

Tapi tiba-tiba saja, saat mulai mendekati tahun kelulusan, mereka kembali medengungkan kicauan-kicauan soal: pacar, IPK, tahun kelulusan, kapan gua menikah, dan... dengan siapa gua menikah.
Bukan soal apa. Tapi ini karena mereka tidak lagi menjadikan telinga nyokap sebagai target kicauan mereka, melainkan telinga gua sendiri. Mungkin karena dianggapnya gua udah dewasa dan mampu mendengar omongan mereka.

2-3 kali gua selalu gagal punya teman dekat pria. Karena apa? Karena kicauan para tetangga itu. Mereka tanpa sungkan dan malu, bilang, "Calon dokter kok jalan sama lulusan diploma" atau "Masa ceweknya yang punya mobil" atau "Cantik-cantik kok mau sama yang mukanya memble begitu" (oke, yg terakhir mungkin terdengar narsis, tapi memang itu yang mereka katakan).
Gerah banget dibuatnya. Ujung-ujungnya, mending gua jalan sama adek gua sendiri, atau sahabat-sahabat cewek gua.

Belum nanti saat gua nikah. Giliran udah nikah, ditanya kapan punya anak. Giliran punya anak, ditanya kapan punya anak lagi. Giliran anaknya gede, berulang lagi deh, kisah masa kecil gue sampe sekarang. Sebuah kisah dengan peran yang sama tapi pemeran yang berbeda. Peran nyokap bakal diperanin gue, dan peran gue bakal diambil alih sama anak gue. Dan tetangga, akan tetap menjadi tetangga. Hal-hal seperti itu nggak akan pernah selesai. Dan seperti permainan tanpa awal dan tanpa akhir. Apalagi dengan kehidupan yang semakin maju seperti sekarang ini. Maka makin leluasa lah mereka berkicau.

Itulah. Mereka seolah nggak pernah puas. Dan ketidakpuasan mereka soal kehidupan gua, berimbas juga pada standar kebahagiaan bokap dan nyokap gua. Setidaknya itu yang gua pikirin sekarang.

Gua masih tetap bermimpi kok. Karena prinsip gua sekarang (soal mimpi) adalah TERWUJUD SATU, TAMBAH SERIBU. Hehehe, sebuah keoptimisan yang YAKIN sekali.
Yakin lah pada mimpi mu. Dan segenap penjuru alam akan menyerap energi itu untuk lalu dikembalikan kembali pada sumbernya dengan kekuatan yang berlipat-lipat ganda. Itu, LAW OF ATTRACTION.


Gua bukan cuma (harus) ngebahagiain bokap dan nyokap. Tapi juga keluarga besar dari bokap dan nyokap. Tak lupa pula, (membahagiakan) tetangga-tetangga yang akan selalu tetap memperbaharui standar role model kesempurnaan di mindset mereka.... dan berkicau!

2 comments:

Terima kasih sudah singgah. Tak perlu segan untuk menyanggah atau memberi tanggapan atas pikiran yang tercurah. Kalau ada yang ingin ditanyakan atau mengganggu pikiran bisa kirim DM ke @celoteholic ya!

Powered by Blogger.